Jakarta (Sangkala.id)-Proyek digitalisasi pendidikan yang semula digembar-gemborkan sebagai karya anak bangsa dan mercusuar teknologi nasional, kini terkuak sebagai kedok megakorupsi.
Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, proyek ini justru diduga menjadi ladang bancakan dana pendidikan oleh segelintir elite dan pengusaha.
Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem Chromebook di Kemendikbudristek, Senin (23/6/2025). Pemeriksaan berlangsung selama 12 jam.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa hasil keterangan dari Nadiem masih akan dipelajari lebih
lanjut.
"Penyidik akan mempelajari dulu hasil keterangan yang diberikan. Kalau ada yang kurang, bisa saja Nadiem dipanggil kembali," ujar Harli di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Juni 2025.
Menurut Harli, pemeriksaan terhadap saksi dalam perkara pengadaan barang dan jasa, terutama dengan nilai besar seperti proyek Chromebook senilai
Rp9,9 triliun, tidak bisa tuntas dalam satu kali pemanggilan.
"Dalam beberapa pertanyaan, masih ada yang perlu digali lebih dalam. Proyek ini tidak sederhana," jelas Harli.
Penyidik juga masih menanti data-data tambahan dari Nadiem yang belum diserahkan dalam pemeriksaan perdana. Namun hingga kini belum ada jadwal resmi untuk pemanggilan ulang.
"Tentu kepada yang bersangkutan juga masih ada data-data yang belum dilengkapi," tegasnya.
Selama pemeriksaan, Nadiem dicecar sekitar 31 pertanyaan yang berfokus pada kewenangannya sebagai menteri.
Penyidik menelusuri sejauh mana ia mengetahui proses pengadaan, arahan nya kepada staf, serta keterlibatannya dengan pihak vendor.
"Termasuk apakah ada komunikasi dengan pihak Google dan vender lainya terkait Chromebook ini," jelas Harli.
Usai pemeriksaan, Nadiem menyampaikan komitmennya untuk tetap kooperatif dalam proses hukum ini.
"Saya akan terus bersikap kooperatif untuk membantu menjernihkan persoalan ini," ujar Nadiem di hadapan awak media, Senin (23/6/2025).
la juga menegaskan bahwa dirinya dipanggil sebagai saksi, dan hadir sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum.
"Saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Kejaksaan yang telah menjalankan proses hukum ini dengan mengedepankan azas keadilan,
transparansi, dan praduga tak bersalah," tambahnya.
Selain Nadiem, penyidik juga telah memeriksa Fiona Handayani, eks Staf Khusus Mendikbudristek, serta Ibrahim Arief, konsultan dari Stafsus Jurist Tan.
Keduanya ditanyai soal pengetahuan mereka dalam proses pengadaan dan kajian yang dijadikan dasar pengadaan Chromebook.
Sementara itu, Jurist Tan, eks Stafsus lainnya, hingga kini belum memenuhi panggilan penyidik. la diketahui berada di luar negeri, dan penyidik masih
mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya.
Makarim menggelontorkan dana hingga Rp9,9 triliun untuk pengadaan laptop dalam proyek bertajuk "digitalisasi pendidikan" pada 2019-2023.
Sayangnya, penyelidikan Kejaksaan Agung menemukan indikasi penggelembungan harga mencolok: satuan laptop yang seharusnya hanya Rp5-7 juta, dipatok hingga lebih dari Rp10 juta.

Kejaksaan Agung RI ST Burhanuddin
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyebut adanya konflik kepentingan antara pihak kementerian dan vendor sejak awal proyek.
"Penunjukan vendor sejak awal sudah diarahkan untuk menguntungkan pihak tertentu. Ini masalah utama," kata Harli.
Lima vendor sudah diperiksa, dan puluhan saksi termasuk tiga mantan staf ahli Nadiem-telah dimintai keterangan. Jejak aliran dana pun tengah ditelusuripenyidik.
Disi lain, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengaku tak pernah mengetahui detail proyek ini. Menurutnya, DPR hanya menyetujui anggaran secara keseluruhan, tanpa ikut membahas spesifikasi barang. Parlemen hanya menerima laporan yang disiapkan oleh Kemendikbud.
Ledia mengkritik keras efektivitas proyek, terutama penggunaan Chromebook yang membutuhkan sinyal internetstabil sesuatu yang langka di luar Pulau
Jawa. Ia menuding proyek ini tidak sensitif terhadap realitas pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
"Sekolah-sekolah yang bahkan belumpunya listrik, tiba-tiba dikasih laptop. Ini logika pembangunan yang absurd," tegas Ledia.
Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, memilih irit bicara.
Ia hanya menyatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Tak ada klarifikasi, tak ada pembelaan.
Sementara itu, tekanan publik agar kejagung memeriksa Nadiem makin keras.
Pengamat hukum Azmi Syahputra menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap mantan Mendikbudristek tersebut wajib dilakukan demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses hukum.
"Kalau tidak dipanggil, ini akan jadi bola liar. Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih," tegas Azmi.
Peneliti ICW Dewi Anggraini mengungkap fakta lebih dalam. Dari enam korporasi yang terlibat, salah satunya PT Zyrexindo Mandiri Buana disebut
terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan. Saat itu Luhut menjabat Menko Maritim dan Investasi, dan sempat terang terangan mempromosikan "Laptop
Merah Putih".
ICW menemukan potensi konflik kepentingan serius. "Ada dugaan pertukaran informasi 'di bawah meja' yang membuat Zyrex terpilih. Spesifikasi yang
dipatok juga sengaja menyulitkan vendor lain," kata Dewi.
Tudingan akuisisi saham Zyrex oleh Luhut sempat dilontarkan eks anggota DPR Djoko Edhi, namun dibantah oleh Jodi Mahardi, jubir Kemenko Marves. Meski begitu, awan kecurigaan tak kunjung hilang.
* Spek Janggal, Proses Pengadaan Diduga Dilanggar
ICW juga menyoroti sistem pengadaan yang dinilai tidak sesuai prosedur. Dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP), proyek pengadaan
laptop tak pernah muncul sebagai rencana resmi.
Proyek ini juga dinilai melanggar Perpres No. 123/2020 dan Permendikbud No. 5/2021 tentang penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK). Fakta bahwa tidak ada perencanaan formal, namun proyek tetap berjalan, menunjukkan bahwa proyek ini sejak awal bermasalah secara hukum dan administratif.
"Anggaran triliunan ini memang sejak awal disiapkan untuk dibancak," kata Dewi.
Spesifikasi yang mengunci hanya pada OS Chromebook semakin memperkecil persaingan sehat. ICW mencium indikasi adanya "kickback" atau pembagian fee
dari penyedia ke pejabat PPK atau KPA.
"Dengan hanya enam penyedia, sangat mungkin terjadi pengaturan. Zyrex disebut bertemu langsung dengan PPK dan menawarkan imbalan," ujar Dewi.
Pertanyaan besar kini menggantung di publik: akankah Jaksa Agung punya nyali memanggil Nadiem dan Luhut?
Pasalnya, keduanya diduga punya peran strategis dan pengaruh kuat dalam proyek ini.
Sementara itu, Eks penyidik KPK Yudi Purnomo juga menegaskan bahwa proses hukum harus menyasar aktor utama.
“Kasus ini besar dan sistemik. Tak bisa berhenti di level staf atau vendor,” katanya.
Ada pula dugaan, Presiden Jokowi mengetahui perkara ini sejak lama, namun memilih tidak mengusut untuk menghindari kegaduhan. Jika ini benar, itu merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip penegakan hukum.
Azmi Syahputra menegaskan, "Penegakan hukum tak boleh tunduk pada kepentingan politik".
Alih-alih berlari menuju Indonesia Emas, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto malah dibebani mewarisi skandal busuk dari era sebelumnya. Rasuah
di sektor pendidikan ini bukan hanya soal uang, tapi soal perampokan masa depan bangsa.
Uang Rp9,9 triliun yang seharusnya bisa menjadi beasiswa bagi ribuan siswa. malah masuk kantong pribadi para koruptor.
Ironisnya, skandal ini terjadi saat bangsa sedang terseok-seok menghadapi pandemi COVID-19.
Jika merujuk pada UU Tipikor, hukuman mati bisa saja dijatuhkan pada para pelaku. Tapi pertanyaannya: apakah aparat penegak hukum cukup berani
menyentuh nama-nama besar yang bermain di balik layar?.***
Sumber : Majalah IFAKTA, Edisi Juli 2025