Rohul (Sangkala.id)-Konflik tata kelola lahan perkebunan di Rokan Hulu memasuki babak baru. Masyarakat hukum adat di daerah itu resmi mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian, menyoal pengelolaan lahan seluas ±54.330 hektare yang telah ditertibkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Gugatan yang diajukan melalui perwakilan masyarakat, Hendri Syaputra, menegaskan bahwa warga bukan hanya menuntut kerugian materiil, tetapi meminta pemerintah menegakkan regulasi, khususnya kewajiban plasma 20% bagi masyarakat sekitar kebun sebagaimana diamanatkan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan dan UU Cipta Kerja.
"Kami masyarakat taat hukum dan mendukung penertiban. Yang kami pertanyakan adalah kelanjutan pengelolaan setelah ditertibkan," ujar Hendri.
Kuasa hukum masyarakat, Franjul M Sianturi, S.E., S.H., menyebut selama puluhan tahun perusahaan-perusahaan yang beroperasi—seperti PT Ekadura Indonesia dan PTPN V—tidak menunaikan kewajiban menyediakan kebun plasma 20%.
"Aturannya jelas, tetapi tidak pernah dijalankan. Ini bentuk ketidakpatuhan hukum," katanya.
Harapan masyarakat agar tata kelola pasca-penertiban mengikuti aturan justru pudar. Lahan yang ditertibkan Satgas PKH diserahkan untuk dikelola sementara oleh PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas) tanpa proses lelang terbuka dan tanpa melibatkan masyarakat.
Kuasa hukum lainnya, Famati Gulo, S.H., M.H., menilai langkah tersebut mengabaikan prinsip transparansi dan amanat regulasi.
"Satgas PKH dan Agrinas seharusnya menjadi contoh kepatuhan hukum. Tidak proaktifnya mereka soal plasma sama saja dengan melawan kebijakan pemerintah," ujarnya.
Melalui gugatan ke PN Pasir Pengaraian, masyarakat meminta:
1. Penyerahan pengelolaan kepada Agrinas dinyatakan batal demi hukum.
2. Pengelola baru harus pihak yang berkomitmen menjalankan kewajiban plasma 20%.
3. Satgas PKH ditegaskan kembali pada mandat penertiban dan kepatuhan hukum.
"Kami tidak melawan Satgas. Kami justru meminta mereka tegak lurus dengan aturan pemerintah," tegas Hendri.
Kasus ini dipandang sebagai ujian serius terhadap komitmen pemerintah dalam membenahi tata kelola perkebunan dan memastikan regulasi dijalankan, bukan hanya ditegakkan kepada perusahaan lama, tetapi juga kepada lembaga dan BUMN penerima mandat negara.
Gugatan ini menjadi sinyal bahwa masyarakat siap menjadi mitra kritis dan taat hukum dalam mewujudkan keadilan agraria dan kedaulatan negara atas sumber daya perkebunan.***