Proyek Normalisasi di Bengkalis Diduga Gunakan Solar Subsidi, PPTK Tak Tahu Harga BBM Industri

Proyek Normalisasi di Bengkalis Diduga Gunakan Solar Subsidi, PPTK Tak Tahu Harga BBM Industri

Bengkalis (Sangkala.id)-Dugaan penyimpangan kembali mencoreng pelaksanaan proyek infrastruktur di Kabupaten Bengkalis. Sejumlah proyek normalisasi yang berada di pulau Bengkalis di bawah Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Bengkalis diduga menggunakan bahan bakar jenis solar bersubsidi untuk mengoperasikan excavator atau alat berat.

Padahal, proyek yang dibiayai dari APBD wajib menggunakan BBM industri (non subsidi), sesuai dengan kontrak kerja dan ketentuan pemerintah.

Informasi ini mencuat setelah warga sekitar melihat aktivitas pengisian bahan bakar diduga menggunakan jerigen tidak resmi di beberapa titik lokasi proyek. Praktik tersebut memunculkan dugaan bahwa solar yang digunakan bukan dari jalur industri, melainkan solar subsidi yang diperoleh dari SPBU umum atau melalui perantara.

"Setiap hari kami lihat mereka isi bahan bakar pakai jerigen. Tidak seperti proyek pemerintah biasanya," ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan, Senin (28/10/2025).

Awak media ini menghubungi dan menanyakan kepada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek, Agus Sukri melalui pesan WhatsApp, apakah pekerjaan tersebut menggunakan minyak solar industri atau bukan, namun jawaban PPTK bikin geleng kepala.

Agus Sukri; pakai minyak solar
Awak media: infonya bukan minyak industri yang di pakai ya pak ?
Agus Sukri menjawab: bukan do pak
Awak media: jadi minyak apo yang di pakai ?
Agus Sukri; minyak non subsidi

Sangat di sayangkan, sebagai PPTK tidak memahami apa arti minyak industri, dan ia juga tidak tau berapa harga minyak solar industri. Bahkan awak media menjelaskan kalo minyak solar industri harga 1 liternya 21 ribu rupiah, lagi-lagi PPTK menjawab "tak tau berapa harganya".

Kecurigaan semakin kuat setelah pernyataan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek, Agus Sukri, justru menimbulkan tanda tanya besar. Saat dikonfirmasi terkait penggunaan BBM Solar industri, Agus mengaku tidak mengetahui harga solar non subsidi.

Agus juga mengatakan, "Katanya orang kerja tu pakai minyak non subsidi, kalau pun mereka pakai minyak subsidi berati orang tu yang main curang," ucapnya saat di hubungi melalui telepon selulernya.

Pernyataan itu memantik kritik terhadap lemahnya pemahaman dan pengawasan internal di tubuh Dinas PUPR Bengkalis. Sebagai PPTK yang berwenang menandatangani dokumen pembayaran, ketidaktahuan terhadap jenis dan harga bahan bakar proyek bernilai ratusan juta rupiah menunjukkan lemahnya kompetensi serta minimnya kontrol teknis di lapangan.

Sejumlah pihak bahkan mempertanyakan legalitas penunjukan PPTK dalam proyek-proyek tersebut. Jika pejabat teknis tidak memahami aspek administratif dan operasional, maka proses penetapan serta mekanisme pengawasan proyek patut ditelusuri ulang.

Sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kegiatan non-komersial. Proyek pemerintah yang bersumber dari APBN maupun APBD wajib menggunakan BBM industri (non subsidi) dari penyalur resmi Pertamina.

Dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) setiap proyek, biaya penggunaan solar industri sudah menjadi komponen baku. Dengan demikian, penggunaan solar subsidi bukan hanya pelanggaran kontrak kerja, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara.

Pakar hukum energi Dr. Arif Hidayat menilai praktik tersebut tidak bisa dianggap sepele.

"Jika benar proyek pemerintah menggunakan solar subsidi, itu termasuk penyalahgunaan BBM yang dapat dijerat dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Baik kontraktor maupun pejabat yang lalai bisa dimintai pertanggungjawaban hukum," tegasnya.

Sementara itu, Ketua DPD LSM GERAK Riau, Emos Gea, mendesak Inspektorat Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi langsung.

"Kalau benar ada penggunaan solar subsidi, berarti dua pelanggaran sekaligus, penyalahgunaan anggaran dan pelanggaran energi. Tapi kalau tidak terbukti, pemerintah wajib membuka data agar isu ini tidak berkembang menjadi fitnah publik," ujarnya.

Emos meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh pekerjaan normalisasi di Kabupaten Bengkalis, terutama terkait bukti pembelian solar industri atau non subsidi.

"Kalau benar pakai solar industri, tunjukkan buktinya nota pembelian, faktur, atau dokumen resmi dari penyalur Pertamina," tambahnya.

Proyek normalisasi yang kini disorot mencakup 17 paket pekerjaan di pulau Bengkalis, dengan nilai kontrak rata-rata sekitar Rp199 juta per paket di bawah pengawasan Bidang SDA Dinas PUPR Bengkalis.

Menurut keterangan Agus Sukri, sebagian proyek telah rampung, beberapa masih dalam proses, dan sebagian lainnya belum dikerjakan sama sekali.

Kasus ini kini menjadi ujian transparansi dan integritas pemerintah daerah dalam mengelola proyek infrastruktur. Publik menanti sikap tegas Pemerintah Kabupaten Bengkalis, apakah akan membuka audit dan penelusuran hukum secara terbuka, atau justru membiarkan dugaan penyimpangan ini tenggelam bersama lumpur normalisasi yang seharusnya membawa manfaat bagi rakyat.***(Ramd)

#Hukum

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index