Belakangan ini, Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi perbincangan hangat dan perhatian banyak orang. Kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai konservasi Gajah sesuai SK MENHUT Nomor 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 Tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Namun, hutan itu kini lebih banyak ditanami sawit oleh masyarakat.
Hutan yang diputuskan menteri kehutanan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: Sk.6588/MenhutVII/KUH/2014, Tanggal 28 Oktober 2014, Tentang Penetapan Kawasan Hutan TN. Tesso Nilo Seluas 81.793 Hektar.
Berapa lagi sisa dari luasan sesuai SK menteri tersebut belum ada angka pasti. Menteri kehutanan menyebut separoh kawasan TNTN telah rusak parah. Satgas PKH menyebut kawasan TNTN hanya tersisa dua belas ribu hektar.
Kepala Balai TNTN tahun lalu menyebut, kawasan hutan hanya tinggal sekitar empat belas ribu hektar. Lain lagi Dinas lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau hanya memperkirakan tak sampai sepuluh ribu hektar lagi. Untuk memastikan berapa real kawasan TNTN yang tersisa harus diukur ulang.
Soal berapa sisa kawasan dan berapa luasan kebun sawit itu urusan belakangan dan menjadi tupoksi petugas balai. Sekarang, kawasan TNTN kini ibarat bom, menunggu waktu pecah.
Dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang berlaku sejak tanggal 21 Januari 2025. Petugas bergerak cepat untuk melakukan penertiban kawasan hutan dari masyarakat yang mengelola kawasan jadi kebun sawit.
Dengan penertiban itu, masyarakat yang sudah merasa nyaman selama ini terusik dan terganggu atas keselamatan kebunnya. Masyarakat mulai cemas, terhadap harta yang menjadi roda penopang kehidupan keluarga.

Terutama, satgas mulai membatasi kebebasan masyarakat keluar masuk ke kawasan TNTN dengan memasang portal. Lalu, mengintervensi pabrik-pabrik kelapa sawit untuk tidak menampung buah dari kawasan hutan. Belum lagi, intervensi terhadap PLN yang disebut memasukkan listrik ke kawasan TNTN secara ilegal.
Kerusakan kawasan TNTN, bukan lagi lima tahun, sepuluh tahun atau lima belas tahun. Tetapi, sudah lama masyarakat masuk kedalam kawasan tersebut. Kenapa masyarakat bisa masuk?.
Menjawab ini kembali kepada petugas berwewenang dan pemerintah. Yang jelas, masyarakat masuk berarati ada peluang dan pintu masuk.
Masyarakat berusaha disana bukan gratis atau mengelola lahan secara Cuma-Cuma. Semua masyarakat yang berkebun disana mendapatkan lahan karena membeli. Bahkan, ada sebagian yang menjual lahannya dari Sumatera Utara untuk mendapatkan lahan lebih luas di Riau karena dianggap lebih murah.
Kerusakan hutan ini harusnya tidak dilimpahkan kepada masyarakat, tetapi kembali kepada pemerintah.
Ditetapkannya kawasan TNTN oleh pemerintah, secara otomatis pemerintah dibawah kementerian kehutanan langsung membentuk Balai TNTN yang bertugas untuk mengawasi kawasan tersebut. Lalu, mereka digaji untuk apa? Kenapa bisa masyarakat masuk kedalam kawasan?.
Disini kita bisa melihat dengan benderang, kerusakan kawasan TNTN itu disebabkan oleh petugas itu sendiri, karena mereka juga dibekali motor untuk melakukan patroli dan menjaga kawasan, tetapi, itu tidak mereka lakukan.
Kenyataannya, masyarakat yang masuk kekawasan hutan itu bukan tidak tau petugas. Tapi, karena sudah ada deal-deal perangkat adat yang mengaku sebagai pemilik wilayah membuat penguasaan kawasan bisa dilakukan oleh masyarakat.
Alat-alat berat yang dibawa masyarakat ke kawasan untuk membersihkan hutan juga tidak mudah. Berlapis petugas dinas coklat telah dilewati, demikian juga dengan petugas kehutanan semua dapat dimainkan.
Kini, kebijakan presiden Prabowo membuat Kawasan TNTN menunggu “meledak”. Meledak, karena masyarakat ketakuan tak makan lagi. Meledak, masyarakat cemas asetnya hilang. Meledak, karena tak ada solusi pemerintah.
Sebenarnya, selain kebun sawit masyarakat, korporasi juga ada yang ikut membabat hutan TNTN tersebut. Namun, mereka adem-adem saja. Bagi mereka, hutan yang dikelola, sepanjang tidak dibawa ke ranah hukum, tinggal mengembalikan.
Namun, masyarakat tidak demikian. Masyarakat hadir disana semua tidak ada yang gratis. Mereka juga sebagai pembeli dari oknum-oknum yang mengaku sebagai pemilik wilayah.
Jelas, masyarakat tidak ada yang rela menyerahkan harta dan jerih payahnya secara cuma-cuma. Walau harta yang mereka dapat dan di kelola melanggar hukum atau aturan. Namun, mereka mendapatkan itu secara sah dan benar.
Pada hakekatnya, yang illegal adalah kebijakan pimpinan. Memang ada regulasi yang mengatur TNTN. Tapi, pemerintah tidak menjalankan pengawasan dan penjagaaan secara benar.
Penetapan TNTN sebagai hutan lindung juga tidak melihat dilapangan. Sebelum ditetapkan sebagai hutan lindung tahun 2014, hutan disana telah banyak dikelola masyarakat. Artinya, telah duluan masyarakat mengelola hutan dari pada pemerintah menetapkan sebagai TNTN.
Disini pemerintah perlu menarik kebijakannya dan melakukan peninjauan kembali TNTN tersebut. Atau pemerintah memberikan solusi terbaik untuk masyarakat dengan memperbolehkan satu periode sawit dengan pernyataan.
Berikut SK penunjukkan hingga ditetapkan TNTN sebagai hutan lindung.
1986, Tesso Nilo merupakan Hutan Produksi Terbatas.
SK MENHUT Nomor 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 Tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
Kemudian tahun 1994, Tesso Nilo di RTRWP tetap merupakan Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Riau Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Daerah Tingkat I Riau.
Selanjutnya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: Sk.6588/MenhutVII/KUH/2014, Tanggal 28 Oktober 2014, Tentang Penetapan Kawasan Hutan TN. Tesso Nilo Seluas 81.793 Hektar Di Kabupaten Pelalawan Dan Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Berdasarkan dukungan dari pemerintah daerah, untuk menetapkan TNTN sebagai kawasan konservasi Gajah.***