Seruan Tutup Toba Pulp Lestari, Harapan Masyarakat Petani

Rabu, 21 Mei 2025 | 12:37:06 WIB

Tapanuli Utara (Sangkala.id)-Keberadaan Perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) memberikan banyak dampak bagi masyarakat, baik itu dampak ekonomi maupun dampak lingkungan. Keberadaan secara dampak ekonomi banyak menampung pekerja yang mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Namun, dibalik itu dampak lingkungan lebih membahayakan keberadaan perusahaan group APRIL itu.

Sebelum berubah nama pada tahun 2001, Toba Pulp Lestari dulunya bernama PT Inti Indorayon yang dibangun oleh Sukanto Tanoto pada tahun 1983.

PT Inti Indorayon atau lebih dikenal dengan sebutan Indorayaon sempat tutup pada tahun 1998, karena dianggap sebagai perusak lingkungan.

Berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatera Utara Pada Juni 1998, menghentikan operasi PT Indorayon. Penutupan ini terkait dengan konflik dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan.

Kemudian berdasarkan SK Menhut PT Indorayon Utama berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Perubahan nama ini tercatat dan disetujui Menteri Kehakiman RI dalam surat keputusan No. C-06519.HT.01.04.TH.2001 tanggal 31 Agustus 2001. PT TPL kemudian mewarisi izin konsesi Indorayon seluas 188.055 hektar (berdasarkan SK Menhut 58/2011).

Keberadaan TPL berdampak negatif terutama kepada masyarakat petani. Khususnya yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, petani kemenyan. Masyarakat Humbang Hasundutan lebih dari lima puluh persen merupakan petani kemenyan. Sepanjang keberadaan Indorayon yang kini disebut TPL, boleh dikatakan berpolemik.

Sebab, kehadiran perusahaan kertas itu menyerobot lahan perkebunan kemenyan milik masyarakat. Yang mereka klaim sebagai pemilik izin konsesi.  

Selain Perusahaan, pemerintah juga dianggap menjadi penyebab terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Sebab, pemerintah memberikan izin konsesi tanpa meninjau terlebih dahulu situasi terkini.

Salah satu contoh, izin konsesi diberikan pemerintah kepada Indorayon pada tahun 1983 yang mayoritas berada di 4 kecamatan. Sementara, jauh dari itu, masyarakat  Batak khususnya yang berada di Kecamatan Pollung, Dolok Sanggul, Parlilitan, Parmonangan merupakan petani kemenyan yang sudah turun temurun dari nenek moyang.

Kebun Kemenyan masyarakat 

Dampaknya, konflik terus terjadi. Perusahaan berusaha mengambil lahan sesuai dengan izinnya dan masyarakat mempertahankan kebunnya yang sudah turun temurun.

Akibatnya, konflik besar terjadi antara perusahaan dengan masyarakat Pandumaan, Sipituhuta, Marade di Kecamatan Pollung pada tahun 2009.

Konflik ini disebabkan perusahaan yang mulai merambah kebun kemenyan petani. Masyarakat melakukan demo secara terus menerus di Kantor Bupati Humbahas, Kantor DPRD, Kantor Polres hingga di Istana Negara Presiden dan DPR RI.

Hasilnya, pemerintah meninjau kembali izin TPL dan memetakan lahan-lahan masyarakat yang masuk dalam izin konsesi TPL.

Konflik antara perusahaan dengan masyarakat juga terus terjadi hampir disetiap wilayah konsesi TPL. Keberadaan TPL disebut merusak lingkungan.

* Gerakan Eporus

Mencuatnya seruan tutup TPL datang dari Ephorus atau pimpinan tertinggi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Eporus Pendeta Victor Tinambunan menyerukan penutupan pabrik pulp PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang berlokasi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara.

Viktor menyatakan seruan itu sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Tanah Batak dan Pimpinan Gereja HKBP yang beranggotakan sekitar 6,5 juta jiwa-sebagian besar bermukim di kawasan Danau Toba.

"Bahwa keberadaan PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis seperti banjir bandang yang berulang kali terjadi, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim," kata Viktor Tinambunan, Sabtu 10 Mei 2025 lalu.

Seperti diketahui, bencana banjir bandang telah berulang kali menerjang kota wisata Parapat, Kabupaten Simalungun, yang menjadi gerbang kawasan Danau Toba. Kota Parapat dikelilingi konsesi hutan eukaliptus milik PT TPL. Teranyar, banjir bandang melumpuhkan Parapat pada Maret lalu.

Viktor mgnatakan, HKBP dan gereja lainnya tidak menginginkan konflik terjadi antara masyarakat dan PT TPL dalam pengelolaan sumber daya alam. Konflik itu ditandai dengan jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya sebagian lahan pertanian produktif, rusaknya relasi sosial antarwarga, hingga akumulasi kemarahan yang tidak mendapat saluran demokratis karena ketakutan.

Catatan Tempo, setidaknya ada dua konflik yang pernah menjadi sorotan media dalam tiga tahun terakhir saja, yakni penculikan dan bentrok dengan polisi. Penculikan dialami lima warga Desa Sihaporas, Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, pada Juli 2024, buntut konflik berkepanjangan warga dan TPL.

Sedangkan bentrok Warga Sihaporas dan polisi terjadi pada 2022. Bentrokan terjadi setelah warga desa berusaha memblokir jalan masuk ke lahan yang merupakan wilayah adat Desa Sihaporas selama 11 generasi, tapi diklaim sebagai bagian dari konsesi PT TPL.

Menurut Tinambunan, semua kejadian jelas bukan sekadar dampak insidental, tetapi  jejak panjang dari konflik yang tidak kunjung diselesaikan secara bermartabat. "Melihat ironi kehidupan yang terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir ini di kawasan PT TPL, dengan segala hormat dan tanggung jawab moral, saya menyerukan kepada pemilik dan pimpinan PT TPL agar menutup operasional sesegera mungkin," katanya.

Direktur PT TPL Jandres Silalahi membantah tudingan TPL penyebab kerusakan ekologis dan sosial. Justru sebaliknya, TPL, versi Jandres, selama ini memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian lingkungan dan pembangunan sosial di wilayah operasionalnya.

Manajemen, ujar Jandres, juga secara rutin menyampaikan laporan tahunan kepada pemangku kepentingan dan instansi pemerintah. Bahkan, pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutnya telah melakukan audit komprehensif terhadap operasional TPL. "Hasilnya menyatakan bahwa TPL taat terhadap seluruh regulasi yang berlaku," katanya.

Kebun HTI TPL di Sektor Tele

Jandres mengaku, TPL diaudit secara menyeluruh termasuk aspek sosial dan ekologis. Hasilnya, perusahaan pulp itu memenuhi ketentuan hukum.

Terhadap dugaan kontribusi terhadap banjir bandang di Parapat, Jandres juga membantahnya. Versi dia, lokasi banjir bandang Maret lalu berjarak sekitar empat kilometer dari konsesi TPL dan masih terhalang kawasan hutan lindung. "Ternyata tidak terbukti secara ilmiah," katanya.

Sebelumnya, sebuah ekspedisi yang dilakuan Pendeta Jurito Sirait dan rekannya, antara lain Dosen Isu dan Kebijakan Lingkungan di Program Studi Administrasi Publik Universitas HKBP Nommensen Dimpos Manalu, menemukan keterkaitan antara banjir bandang dan konsesi PT TPL. "Titik awal longsor yang menyebabkan banjir bandang Parapat hanya berjarak sekitar 2,33 kilometer dari konsesi TPL, bukan 4 kilometer seperti klaim TPL," kata Dimpos.

Hasil riset Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), AURIGA, AMAN Tano Batak, dan Jaringan Advokasi Masyarakat Sumatera Utara disebutnya memperkuat keterkaitan banjir bandang Parapat dengan kegiatan PT TPL. Riset tersebut mengungkapkan, sepanjang 2000-2023 telah terjadi penurunan luas hutan alam Parapat kawasan Danau Toba seluas 6.503 hektare di lima kecamatan sekitar Parapat.

Pada periode yang sama dengan deforestasi hutan alam itu, terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektare.***(dsb)

Terkini