Pekanbaru (Sangkala.id)-Warga dipaksa menandatangi surat pernyataan, untuk mengakui lahan yang mereka tanami sawit adalah milik PT NSR. Padahal warga mempunyai SKGR dan membayar pajak.
Bagi warga yang tidak mau menandatangani surat pernyataan untuk menyerahkan lahan mereka kepada PT NSR maka masyarakat akan diintimidasi dan diteror.
"Saat ini masyarakat kami gelisah karena terus diteror pihak PT NSR. Padahal tanah itu mereka dapatkan dengan cara membeli dan mereka tertib membayar pajak,’’ ujar kepala desa Segati Heri Sugiyanto saat mendampingi warganya mengadu ke DPRD Riau, Senin (19/5/2025).

Puluhan petani sawit yang tergabung dalam Kelompok Tani Desa Segati, Kecamatan Langgam Pelalawan mendatangi kantor DPRD Riau. Kedatangan puluhan petani sawit ini untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi II DPRD Riau.
Kedatangan warga Segati ini disambut Wakil Ketua III DPRD Riau Budiman Lubis didampingi Sekretaris Komisi II Androy Ade Rianda, anggota Komisi II Raja Jaya Dinata, Monang Eliezer Pasaribu, Dodi Nefeldi, Soniwati, Ginda Burnama dan Siti Aisyah.
Mereka mengadukan nasib mereka yang dituding menduduki lahan HP-HTI PT Nusantara Sentosa Raya (NSR).
Tidak hanya dituding mencaplok lahan PT NSR, warga yang telah menanam sawit sejak tahun 2004 di lahan yang mereka beli juga diancam dan diintimidasi PT NSR memakai aparat penegak hukum.
"Kami telah berkebun sawit di Desa Segati ini sejak tahun 2004 dan mendapatkan lahan dengan cara membeli. Tetapi, sejak beberapa waktu lalu datanglah oknum dari PT NSR yang mendatangi lahan kami dan memasang plang bahwa lahan kami masuk kawasan PT NSR. Malahan para petani sawit diintimidasi dan dipaksa untuk mengakui bahwa lahan kami adalah milik PT NSR," ujar Syamsuardi, juru bicara warga Segati.
Kepala Desa Segati Heri Sugiyanto mengatakan, Konflik antara warga Segati dengan PT NSR telah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Awalnya areal HTI PT NSR adalah milik PT Siak Raya Timber dengan status Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 1975.

Dua puluh tahun setelah izin HPH dikeluarkan, pemerintah meminta kepada PT SRT untuk melakukan reboisasi tetapi mereka menolak karena telah menyetor dana PSDH/DR kepada pemerintah.
Selanjutnya, proses reboisasi dilaksanakan oleh PT Inhutani IV dan PT SRT yang kemudian bernama PT NSR.
"Pada tahun 1995 status HPH berubah menjadi HP-HTI dengan pola transmigrasi, " ujarnya.
Pada tahun 1997, lanjut Heri, ada kewajiban PT NSR untuk memasang tata batas tapi tidak dilaksanakan oleh PT NSR. Akibatnya, masyarakat dan aparat desa Segati tidak tahu persis dimana tata batas lahan yang menjadi konsesi HP HTI PT NSR. Bahkan sejak tahun 1997 hingga tahun 2004 tidak ada aktifitas apapun dilahan yang diklaim milik PT NSR.
Pada tahun 2004 mulailah ada aktifitas penanaman kelapa sawit di areal bekas HPH PT SRT tersebut.
"Penanaman sawit dilakukan masyarakat di lahan yang tidak ada tanda batas sebagai kawasan PT NSR. Karena tidak ada komplain dari PT NSR maka semakin banyak masyarakat yang membeli tanah dan berkebun sawit di Desa Segati," ujarnya.
Tanpa ada komplain dari PT NSR, lahan yang ditanami sawit warga adalah kawasan Konsesi HP-HTI PT NSR, kata Heri.
Tiba-tiba beberapa waktu lalu pihak PT NSR memasang spanduk dan plang, lahan yang dikelola warga adalah kawasan PT NSR.
Pimpinan PT Nusantara Sentosa Raya (NSR) Muller Tampubolon menyebut belum mengetahui informasi terkait.
"Izin komandan, saya belum dapat informasi ini," ujarnya singkat saat dikonfirmasi terkait intimidasi perusahaan yang diadukan warga ke DPRD Riau.
Wakil Ketua DPRD Riau Budiman Lubis mengatakan, DPRD Riau akan membantu warga Segati untuk menyelesaikan sengketa lahan mereka dengan PT NSR. Namun Budiman meminta agar masyarakat dapat menyerahkan dokumen resmi agar pihak dewan dapat mengetahui secara pasti duduk permasalahannya.
"Kami tidak mendapatkan dokumen apapun tentang lahan yang dipersengketakan antara masyarakat Segati dengan PT NSR. Kami meminta kepada masyarakat Segati dapat menyerahkan dokumen lahan agar dewan dapat mengetahui persoalan yang terjadi sehingga dapat mencari solusi terbaik. Dan kami akan mengkonfrontir data itu dengan pihak perusahaan pada waktu hearing dengan PT NSR, " ujarnya.
Anggota Komisi II DPRD Riau Raja Jaya Dinata mengatakan, konflik antara masyarakat dengan perusahaan hampir terjadi di seluruh Riau termasuk Kabupaten Kampar. Jaya mengimbau agar sengketa lahan dapat diselesaikan dengan baik dan warga Segati diminta untuk dapat menyerahkan dokumen tentang kepemilikan lahan mereka kepada DPRD Riau.
“Data dari warga diperlukan untuk disinkronkan dengan data dari perusahaan. Kami juga mengimbau agar masalah ini diselesaikan dengan baik dan jangan sampai terjadi konflik horizontal antara masyarakat dengan perusahaan,” ujarnya.***